Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Sigar Aji Poerana, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada Kamis, 26 Desember 2019.
Jaminan Produk Halal
Jaminan produk halal diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU 33/2014”) yang sebagian ketentuannya telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”).
Jaminan Produk Halal (“JPH”) adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal.[1] Sedangkan sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (“BPJPH”) berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (“MUI”).[2]
Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal
Penyelenggaraan JPH merupakan tanggung jawab pemerintah[3] yang dilaksanakan oleh Menteri Agama[4]. Untuk itu, dibentuk BPJPH yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama.[5]
BPJPH memiliki kewenangan sebagai berikut:[6]
-
merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
-
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
-
menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk;
-
melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri;
-
melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal;
-
melakukan akreditasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (“LPH”);
-
melakukan registrasi auditor halal;
-
melakukan pengawasan terhadap JPH;
-
melakukan pembinaan auditor halal; dan
-
melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
Dalam melaksanakan wewenang tersebut, BPJPH bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, LPH, dan MUI, termasuk MUI yang ada di Provinsi dan Majelis Permusyawaratan Ulama (“MPU”) Aceh.[7]
Adapun bentuk kerja samanya adalah sebagai berikut:
-
Kerja Sama BPJPH dengan Kementerian dan/atau Lembaga Terkait
Kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga terkait.[8] Sebagai contoh, BPJPH dapat bekerja sama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian dalam hal pengaturan serta pembinaan dan pengawasan industri terkait dengan bahan baku dan bahan tambahan pangan yang digunakan untuk menghasilkan produk halal.[9]
-
Kerja Sama BPJPH dengan MUI
-
Kerja Sama BPJPH dengan LPH
BPJPH dengan LPH bekerja sama dalam hal pemeriksaan dan/atau pengujian produk.[12] Dalam melaksanakan tugasnya, LPH dapat mengangkat dan memberhentikan Auditor Halal[13] yang memiliki tugas sebagai berikut[14]:
-
Memeriksa dan mengkaji bahan yang digunakan;
-
Memeriksa dan mengkaji proses pengolahan produk;
-
Memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;
-
Meneliti lokasi produk;
-
Meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;
-
Memeriksa pendistribusian dan penyajian produk;
-
Memeriksa sistem jaminan halal pelaku usaha; dan
-
Melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.
Kewajiban Sertifikat Halal
Pasal 4 UU 33/2014 mengatur bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Meski demikian, pemerintah melalui UU Cipta Kerja telah memberikan kemudahan bagi pelaku usaha mikro dan kecil, yaitu kewajiban bersertifikat halal untuk mereka didasarkan atas pernyataan pelaku usaha berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH.[15]
Sedangkan untuk pelaku usaha di luar usaha mikro dan kecil dapat mengajukan permohonan sertifikat halal kepada BPJPH dengan melampirkan dokumen data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, dan pengolahan produk.[16]
Selain itu, pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib:[17]
-
mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal;
-
menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal;
-
memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal;
-
memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir; dan
-
melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.
Pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban di atas setelah memperoleh sertifikat halal dikenai sanksi administratif yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.[18]
Jenis Produk yang Wajib Bersertifikat Halal
Apa sajakah yang termasuk ke dalam produk yang wajib bersertifikat halal? Merujuk pada Pasal 1 angka 1 jo. Pasal Pasal 4 UU 33/2014, produk yang diwajibkan bersertifikat halal adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Selanjutnya, dalam proses sertifkikasi halal, dikenal istilah Proses Produk Halal (“PPH”) yaitu rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk.[19]
-
Hewan
Bahan yang berasal dari hewan pada dasarnya halal, kecuali yang diharamkan menurut syariat.[22] Adapun bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan, meliputi:[23]
-
bangkai;
-
darah;
-
babi; dan/atau
-
hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat.
Selain itu, bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain yang telah disebutkan diatas ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan fatwa MUI.[24]
-
Tumbuhan
Bahan yang berasal dari tumbuhan pada dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau membahayakan kesehatan bagi orang yang mengonsumsinya.[25]
-
Mikroba dan/atau bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik.
Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan.[26]
Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan tersebut di atas dikecualikan dari kewajiban mengajukan permohonan sertifikat halal,[27] namun, diwajibkan untuk mencantumkan keterangan tidak halal pada produk.[28] Jika hal tersebut tidak dilaksanakan, pelaku usaha dikenai sanksi administratif,[29] yang ketentuan lebih lanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya.[30]
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatPernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 1 angka 5 UU 33/2014
[2] Pasal 1 angka 10 UU 33/2014
[3] Pasal 5 ayat (1) UU 33/2014
[4] Pasal 5 ayat (2) UU 33/2014
[5] Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014
[6] Pasal 6 UU 33/2014
[7] Pasal 7 UU 33/2014 dan Penjelasan Pasal 48 angka 2 UU Cipta Kerja yang mengubah Penjelasan Pasal 7 huruf c UU 33/2014
[8] Pasal 8 UU 33/2014
[9] Penjelasan Pasal 8 UU 33/2014
[10] Pasal 48 angka 3 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 10 ayat (1) UU 33/2014
[11] Pasal 48 angka 3 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 10 ayat (2) UU 33/2014
[12] Pasal 9 UU 33/2014
[13] Pasal 48 angka 5 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 14 ayat (1) UU 33/2014
[14] Pasal 15 UU 33/2014
[15] Pasal 48 angka 1 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 4A UU 33/2014
[16] Pasal 48 angka 10 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 29 ayat (1) dan (2) UU 33/2014
[17] Pasal 25 UU 33/2014
[18] Pasal 48 angka 8 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 27 ayat (1) dan (2) UU 33/2014
[19] Pasal 1 angka 3 UU 33/2014
[20] Pasal 17 ayat (1) UU 33/2014
[21] Pasal 17 ayat (2) UU 33/2014
[22] Pasal 17 ayat (3) UU 33/2014
[23] Pasal 18 ayat (1) UU 33/2014
[24] Pasal 18 ayat (2) UU 33/2014
[25] Pasal 20 ayat (1) UU 33/2014
[26] Pasal 20 ayat (2) UU 33/2014
[27] Pasal 26 ayat (1) UU 33/2014
[28] Pasal 26 ayat (2) UU 33/2014
Sumber artikel:
COMMENTS