Mediator
Mediator dikenal dalam proses mediasi yang mengacu kepada Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (“Perma 1/2016”), yaitu hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Yang dimaksud mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.[1] Selain itu, setiap mediator wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi Mediator yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung.
-
memperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada para pihak untuk saling memperkenalkan diri;
-
menjelaskan maksud, tujuan, dan sifat mediasi kepada para pihak;
-
menjelaskan kedudukan dan peran mediator yang netral dan tidak mengambil keputusan;
-
membuat aturan pelaksanaan mediasi bersama para pihak;
-
menjelaskan bahwa mediator dapat mengadakan pertemuan dengan satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya (kaukus);
-
menyusun jadwal mediasi bersama para pihak;
-
mengisi formulir jadwal mediasi.
-
memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan permasalahan dan usulan perdamaian;
-
menginventarisasi permasalahan dan mengagendakan pembahasan berdasarkan skala prioritas;
-
memfasilitasi dan mendorong para pihak untuk:
-
menelusuri dan menggali kepentingan para pihak;
-
mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak; dan
-
bekerja sama mencapai penyelesaian;
-
-
membantu para pihak dalam membuat dan merumuskan kesepakatan perdamaian;
-
menyampaikan laporan keberhasilan, ketidakberhasilan dan/atau tidak dapat dilaksanakannya mediasi kepada hakim pemeriksa perkara;
-
menyatakan salah satu atau para pihak tidak beriktikad baik dan menyampaikan kepada hakim pemeriksa perkara;
-
tugas lain dalam menjalankan fungsinya
Sehingga dapat diketahui bahwa peran mediator lebih condong kepada membantu merumuskan kesepakatan damai antara para pihak yang bersengketa dengan posisi netral dan tidak mengambil keputusan tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Setelah dikeluarkannya kesepakatan perdamaian, mediator kemudian mengajukannya agar dikuatkan dalam Akta Perdamaian kepada hakim pemeriksa perkara.
Sementara arbitrase berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 30/1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
-
cakap melakukan tindakan hukum;
-
berumur paling rendah 35 tahun;
-
tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
-
tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
-
memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
dapat disimpulkan bahwa arbiter memiliki peran untuk menjalankan prosedur atau tata cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase sebagaimana secara spesifik diatur dalam Pasal 27 – Pasal 48 UU 30/1999.
Menurut Pasal 1 angka 10 UU 30/1999, konsiliasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan. Akan tetapi, penjelasan lebih lanjut mengenai konsiliasi tidak di temukan dalam UU 30/1999.
- beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
-
warga negara Indonesia;
-
berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
-
pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S1);
-
berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
-
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
-
memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 tahun;
-
menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan; dan
-
syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
COMMENTS