Dalam suatu kesempatan Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa ada lebih dari 42000 regulasi di Indonesia sekarang ini, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, Perpres, Peraturan Menteri, Perda Provinsi/, Pergub, Perda Kabupaten/Kota, Perbup sampai Perwali. Coba bayangkan, pusing gak? Pada saat yang sama Presiden menyatakan bahwa regulasi bisa menjadi alat pemerasan. Akibat banyak regulasi, kata Presiden Joko Widodo Indonesia tidak bisa bergerak cepat mengikuti perubahan zaman.
Pernyataan Presiden benar adanya. Hyper regulasi adalah suatu keadaan peraturan perundang-undangan begitu sangat banyak, berlebih dan over regulasi, seperti seseorang yang menderita hypertensi atau over-weight tentu dapat menjadi penyakit dan tidak sehat. Akibat hyper regulasi gerak birokrasi dalam membuat kebijakan menjadi terlambat dan bahkan seringkali terhambat. Pada sisi lain, kebutuhan dunia usaha atas kebijakan yang cepat karena perubahan zaman yang cepat juga menjadi terhambat, akibatnya bisa kalah bersaing. Hyper regulasi sama bahayanya dengan tanpa regulasi, yang mengakibatkan negara kehilangan fungsinya untuk mengontrol dan mengawasi. Yaitu; mengontrol dan mengawasi pertarungan bebas yang dapat menimbulkan persaingan tidak sehat dan permainan curang. Pemilik modal besar dan jaringan yang luas sangat suka dengan deregulasi. Dalam masyarakat dengan tingkat etika yang sangat tinggi masalah yang timbul akibat deregulasi dapat dikurangi, tetapi dalam masyatakat dengan etika rendah, deregulasi dapat menjadi ruang untuk lahirnya kecurangan dan ketidakadilan.
Jadi regulasi seharusnya normal saja, tidak terlalu banyak dan juga tidak boleh tidak ada. Bagi dunia usaha dan industri, tentu saja tetap membutuhkan regulasi, tetapi regulasi yang memberi ruang pada keadilan serta peningkatan produksi. Jangan sampai regulasi apalagi regulasi yang demikian banyak menghambat dan menjadi alat pemerasan sebagaimana sinyalemen Presiden Joko Widodo.
Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh Pengusaha untuk keluar dari problem regulasi yang dapat menghambat laju perkembangan dunia usaha, dan terhindar dari kesewenang-wenangan Pejabat dengan alasan regulasi? Para pelaku usaha membutuhkan para Ahli hukum yang memiliki kemampuan untuk memahami Ilmu hukum mengenai kebijakan negara dan kebijakan publik dan memiliki pengalaman dan pemahaman yang multidisplin. Ahli hukum dapat memberikan solusi kebijakan alternatif dan langkah-langkah hukum yang dapat dilakukan untuk mengubah atau membatalkan suatu regulasi. Hal tersebut dapat dilakukan melalui lobby pada Pejabat penentu kebijakan, pressure group, pengawasan oleh DPR atau melalui lembaga peradilan. Kemampuan Ilmu hukum yang mumpuni dengan pendekatan multi displin dan jaringan luas pada birokrasi pemerintah menjadi sangat dibutuhkan. Kantor Hukum Konoras and Partners dengan pengalamannya yang panjang mengenai Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara serta kebijakan publik serta jaringannya yang luas dapat memberikan solusi bagi para pelaku usaha menghadapi hyper regulasi yang merugikan dunia usaha.
Kekuatan Pembuktian Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu
Pemilu (Pemilihan Umum) merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut dalam proses politik dengan menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau daerah dalam periode tertentu. Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Oleh karena itu, pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi kekuasaan.
Hasil pemilu merupakan hasil dari suatu kompetisi politik antar peserta pemilihan umum. Kualitas demokrasi sangat tergantung kepada kualitas hasil pemilihan umum dan kualitas hasil pemilu tergantung pula pada kualitas proses penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri.
Dalam penyelenggaraan penghitungan suara hasil pemilihan umum dapat timbul perselisihan pendapat di antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu, jika perselisihan semacam ini tidak dapat lagi diatasi melalui upaya-upaya yang bersifat administratif, maka dapat diselesaikan melalui perkara di Mahkamah Konstitusi (MK). Seperti pada berita KOMPAS.com tanggal 21/05/2019, 12:22 WIB, mengenai Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno akan mengajukan gugatan sengketa hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 ke Mahkamah Konstitusi (https://nasional.kompas.com/read/2019/05/21/ 12225331/bpn). BPN mengambil jalan sesuai konstitusi dengan mengajukan upaya hukum pengajuan perkara sengketa hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi juga harus menyiapkan jalan proses konstitusi atau mekanisme hukum untuk menyelesaikan perselisihan berkenaan dengan hasil pemilu tersebut, agar perselisihan ini tidak berkembang menjadi konflik politik atau apalagi berubah menjadi konflik sosial.
Yang perlu dicermati pada proses di Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan mencari penyelesaian sengketa hasil pemilu, bagaimana konsep kebenaran dimaknai secara tunggal, terverifikasi melalui fakta-fakta yang pada akhirnya dikonversi menjadi kalkulasi jumlah suara. Seperti pada berita KOMPAS.com tanggal 28/06/2019, 15:56 WIB, mengenai MAHKAMAH Konstitusi (MK), Kamis (27/6/2019) malam membacakan putusan perkara sengketa Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Dalam amar putusannya, MK menolak seluruh permohonan yang diajukan pasangan calon presiden nomor urut 02 dalam Pilpres 2019, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Sebelum putusan terkait pokok permohonan, MK juga memutuskan menolak seluruh eksepsi yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai termohon dan pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin yang menjadi pihak terkait.
Putusan sengketa hasil Pilpres 2019 diambil MK tanpa ada satu pun hakim konstitusi yang mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Dalam pertimbangan hakim konstitusi, seluruh dalil yang diajukan pemohon dinyatakan tidak beralasan menurut hukum, alias ditolak.(https://nasional.kompas.com/jeo/setelah-putusan-mk). Dengan demikian, gugatan atas dasar konsepsi etik yang tidak mampu dihubungkan melalui relasi positif pada hasil perhitungan suara, tidak akan memiliki arti secara legal.
Membangun pembuktian yang bisa memperlihatkan hubungan kausalitas positif terhadap hasil perhitungan suara tidaklah mudah. Perlu kecermatan yang baik dari ahli hukum dalam merunut dan menganalisa seluruh proses tahapan pemilu yang sesuai dengan peraturan, perlu tim hukum yang kuat untuk dapat mengumpulkan semua alat bukti secara detail, lengkap dan relevan dari seluruh proses tahapan pemilu tersebut serta perlu kemampuan dari ahli hukum untuk membangun korelasi hukum tak terbantahkan antara proses, alat bukti dengan hasil perhitungan suara. Formulasi dari hasil analisa dan gambaran lengkap seluruh fakta, proses serta korelasinya dengan hasil perhitungan suara ini menjadi kekuatan pembuktian yang solid.
Perkembangan penyelesaian sengketa hasil pemilu pada sisi ini menyebabkan Konsultan Hukum perlu kemampuan yang prima untuk dapat memberikan solusi maksimal terhadap masalah hukum klien. (sumber: zoelvapartners.id)