Asas Sidang Terbuka untuk Umum
Persidangan dilakukan secara terbuka untuk umum dengan maksud agar proses pemeriksaan terhadap saksi-saksi, ahli, barang bukti, dan terdakwa bisa dilihat oleh siapapun. Artinya, tidak ada yang ditutup-tutupi. Proses tersebut menjadi prinsip dasar atau asas utama pada seluruh persidangan pengadilan di Indonesia.
Asas sidang terbuka untuk umum ditegaskan pada Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) yang berbunyi:
-
Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
-
Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
-
Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan:
Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan:
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
Berdasarkan ketentuan Pasal 141 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menyatakan:
Dalam perkara yang menyangkut rahasia militer dan/atau rahasia negara, Hakim Ketua dapat menyatakan sidang tertutup untuk umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan:
Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan.
Regulasi dan Penerapan Asas Sidang Terbuka untuk Umum di Masa COVID-19
Namun, berkaitan dengan adanya pandemi COVID-19, persidangan dengan asas terbuka untuk umum agak sulit dilakukan.
Presiden Joko Widodo secara resmi menetapkan COVID-19 sebagai bencana nasional. Penetapan tersebut dinyatakan melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.
Kondisi ini tentunya juga mempengaruhi kegiatan di pengadilan. Walaupun berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman pada prinsipnya sidang dilaksanakan terbuka untuk umum, tapi terdapat asas dalam hukum yang berbunyi salus populi suprema lex esto, yang berarti keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara. Jadi, dapat disimpukan berdasarkan asas tersebut, bahwa hukum juga bisa menyesuaikan dengan kondisi yang ada, dengan pertimbangan keselamatan rakyat.
Dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19 ini, Mahkamah Agung (“MA”) telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID – 19) di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya (“SEMA 1/2020”).
Melalui SEMA 1/2020, MA mengatur pembatasan dalam pelaksanaan persidangan, antara lain dengan ketentuan:
Penundaan persidangan dan pembatasan pengunjung sidang merupakan kewenangan majelis hakim untuk menentukan.[1]
Majelis hakim dapat membatasi jumlah dan jarak aman antar pengunjung sidang (social distancing).[2]
Pencari keadilan dianjurkan untuk memanfaatkan aplikasi e-litigation untuk persidangan perkara perdata, perdata agama dan tata usaha negara.
Penggunaan E-Litigation
Sebagaimana yang dijelaskan dalam arikel Mengenal Lebih Jauh Bentuk Persidangan Bernama E-Litigation, e-litigation adalah persidangan yang dilakukan secara elektronik dengan cara meminimalisir para pihak untuk bertatap muka dan datang ke pengadilan.
E-Litigation merupakan salah satu dari empat fitur yang dimiliki oleh MA sebagai bagian integral dari program induk bernama E-Court (Electronic Court) yang didasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (“PERMA 1/2019”).
Dalam PERMA 1/2019 dijelaskan bahwa dalam persidangan secara elektronik ini, putusan/penetapan diucapkan oleh hakim/hakim ketua secara elektronik, pengucapan tersebut secara hukum telah dilaksanakan dengan menyampaikan salinan putusan/penetapan elektronik kepada para pihak melalui sistem informasi pengadilan.[3] Pengucapan yang demikian secara hukum dianggap telah dihadiri oleh para pihak dan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum.[4] Kemudian, pengadilan mempublikasikan putusan/penetapan untuk umum pada sistem informasi pengadilan.[5]
Dalam Pasal 27 PERMA 1/2019 juga ditegaskan bahwa persidangan secara elektronik yang dilaksanakan melalui sistem informasi pengadilan pada jaringan internet publik secara hukum telah memenuhi asas dan ketentuan persidangan terbuka untuk umum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Sehingga, kami menyimpulkan bahwa dalam situasi COVID-19, penerapan persidangan terbuka untuk umum tetap dilaksanakan akan tetapi dengan beberapa pembatasan seperti pembatasan jumlah pengunjung sidang dan jarak antar pengunjung. Selain itu penggunaan e-litigation secara hukum juga dianggap sebagai persidangan terbuka untuk umum.
-
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan diubah kedua kalinya oleh Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
-
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan diubah kedua kalinya oleh Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama;
-
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2020 tentang 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID – 19) di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya sebagaimana diubah oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya dan diubah kedua kalinya oleh Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya dan diubah ketiga kalinya oleh Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya dan diubah keempat kalinya oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat Atas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya.
COMMENTS