Baik kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan/atau walikota, maupun menteri merupakan pejabat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 122 huruf j, l, dan m Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU 5/2014”).
Bagi kepala daerah yang diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden yang dilarang untuk dirangkap menurut ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau melanggar larangan bagi kepala daerah untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, yang bersangkutan diberhentikan dari jabatannya.
Berdasarkan pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa yang Anda maksud dengan ‘kepala daerah aktif’ yaitu kepala daerah yang masih berstatus aktif sebagai kepala daerah dan belum melepaskan jabatan kepala daerah yang dimaksud. Dalam pertanyaan telah diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh presiden yang dilarang untuk dirangkap menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, kepala daerah tersebut juga melanggar larangan bagi kepala daerah untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya. Yang mana, kedua hal tersebut merupakan alasan yang dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan kepala daerah yang bersangkutan sebagaimana yang kami jelaskan sebelumnya.
-
Pemberhentian kepala daerah diusulkan kepada presiden untuk gubernur serta kepada menteri dalam negeri untuk bupati atau wali kota berdasarkan putusan Mahkamah Agung (“MA”) atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) bahwa kepala daerah tersebut melanggar larangan rangkap jabatan.[6]
-
Pendapat DPRD tersebut diputuskan melalui rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir.[7]
-
Pendapat tersebut kemudian diperiksa, diadili, dan diputus oleh MA paling lambat 30 hari setelah permintaan DPRD diterima oleh MA.[8]
-
Apabila MA memutuskan bahwa kepala daerah yang bersangkutan terbukti melanggar larangan bagi kepala daerah, maka pimpinan DPRD menyampaikan usulan kepada presiden untuk memberhentikan gubernur atau kepada menteri dalam negeri untuk pemberhentian bupati atau wali kota.[9]
Jika DPRD tidak melaksanakan mekanisme tersebut, maka pemberhentian kepala daerah dilakukan oleh pemerintah pusat.[12] Dalam hal ini, pemerintah pusat melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah untuk menemukan bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan.[13] Nantinya, hasil pemeriksaan tersebut akan disampaikan oleh pemerintah pusat kepada MA untuk mendapat keputusan tentang pelanggaran yang dilakukan oleh kepala daerah.[14] Apabila MA memutuskan bahwa kepala daerah yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran, maka pemerintah pusat akan memberhentikannya.[15]
-
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
COMMENTS